Rabu, 25 Juli 2018

Keputusan Menjadi Ibu Rumah Tangga

Pada dasarnya menjadi fullmom atau working mom sama2 punya niat baik. Semua ibu mau kasih yang terbaik buat anak dan keluarganya-versinya masing-masing. Setiap orang punya prinsip hidup yang berbeda ya, tujuan hidup juga versi masing2, kondisi yang dialami setiap rumah tangga macem2, apalagi standar bahagia setiap orang levelnya berbeda.
Nah saya dan pak suami (selanjutnya panggil paksu aja 😀)  juga punya standar bahagia sendiri, prinsip hidup yang kebetulan sejalan, dan kondisi yang memungkinkan.
Konsep keluarga ideal versi saya dan paksu ya suami kerja, istri fokus dengan anak dan jaga rumah. Bekerja sama dalam rumah tangga tidak harus mengerjakan hal yang sama (menurut kami) , dalam hal ini sama2 bekerja di luar. Beberapa orang secara naluri menginginkan konsep rumah tangga seperti ini, ada yang kondisinya memungkinkan, ada yang kondisinya tidak memungkinkan, beberapa yang lain sangat menghindari konsep seperti ini.
Kondisi saya dan paksu?

Sebelum Ahsan lahir paksu nggak ngelarang saya buat kerja. Resign dari kantor tempat saya bekerja dulu sepenuhnya keputusan saya. Setelah itu akhirnya memutuskan untuk mengajar anak2 di sekolah alam. Ditengah perjalanan mengajar disana, saya hamil. Di situlah paksu mulai menekankan lagi bahwa anak nantinya akan diurus sepenuhnya berdua, kalo suami kerja ya saya urus sendiri. Anak adalah amanah besar bagi kami. Kami sama2 punya keyakinan bahwa orang terbaik dan tersabar dalam mengurus dan mendidik anak ya orangtuanya sendiri. Karna kelak yang diminta pertanggungjawaban atas akhlak anak ya orangtuanya sendiri. Jadi nanti kalo Ahsan lahir, saya harus berhenti ngajar dulu. Fokus ke Ahsan.
Kami sama2 punya tanggungan ke orangtua masing2, it means kalo saya nggak punya penghasilan, semua ditanggung suami. Jangan ditanya galaunya. Masa sih saya tega menambah beban berat di suami?
Makin tua usia kehamilan, makin galau. Padahal diawal udah yakin mau jadi fullmom. Lha paksunya sendiri malah keliatan selow dan seneng. Katanya, InsyaAllah berkah kalo uangku dibagi2. Asal sang istri bisa qana'ah (merasa cukup atas pemberian suami). Jadi istri yang qana'ah kayaknya nggak mudah ya. Apalagi buat saya yang suka ngabisin uang buat jalan2 kesana sini, mamam cantik di emol, belanja balenji (namanya wanita ya gitulah ya 😅). Kegalauan selanjutnya, saya punya janji ke paksu untuk mendukung sepenuhnya prinsip paksu menghindari riba. Hidup tanpa cicilan, tanpa kartu kredit, tanpa KPR rumah.
Pertanyaan diotak saat itu. Hidupku nanti jadi susah nggak ya dengan kondisi begini. Jaman sekarang emang ada ya yang memilih untuk hidup sederhana seperti kami ini.
Pertanyaan selanjutnya, bosen nggak sih nanti nguplek di rumah seharian sambil ngurus bayi?
Pokoknya saat itu bingung. Galau. Dasar wanita.
Jadi inget paksu pernah berpesan bahwa 'Dunia itu cuma sebentar'. Satu kalimat tapi maknanya banyak buat saya. Satu lagi pesannya. The power of kalimat syukur. Kalo kita belum punya rumah sendiri, bersyukur sudah ketemu jodoh. Kalo kita merasa hidup kurang, bersyukur sudah dikaruniai anak.
Ingat2 lagi tujuan bersama kami setelah menikah. InsyaAllah ingin berkumpul di surga-Nya. Banyak cara. Cara yang saya tempuh ya jalan ini. Patuh kepada perintah suami (pada hal yang makruf), mendidik dan membersamai anak2 agar menjadi anak2 yang sholih-sholihah.
Bismillah akhirnya saya yakin untuk menjalani hari2 sebagai ibu rumah tangga. Semoga Allah SWT ridho.
Mau tau suka dukanya?
Next postingan ya 😀

Tidak ada komentar:

Posting Komentar